Label

Rabu, 16 Mei 2012

Babebo Zine, Pak Oga Perempatan Imajinasi



Bagi saya getaran nafas ilmu pengetahuan berbanding lurus dengan tingkat kecepatan modem. Dunia maya  barangkali bisa dikatakan sebagai tiruan dari dunia yang real. Pondasi maya itu perlahan dibangun berdasarkan berbagai bentuk kesialan. Ketika masyarakat modern mulai cemburu pada realitasnya sendiri. Mereka menciptakan realitas baru untuk melampiaskan nafsunya. Nafsu yang selama ini tak mampu terealisasi di dunial yang real. Pada akhirnya kita bisa menyebut dunia maya sebagai hyperealitas. Realitas baru yang melampaui realitas sebelumnya. 

Namun kebebasan mengakses tanpa sekat geografis dalam dunia maya. Secara tidak langsung menjadi tulang punggung bagi kelahiran nasionalisme. Salah satu ciri manusia modern tak lebih dari bagaimana proses kelahiran fasilitas komunkasi tanpa sekat itu sendiri. Sebagaimana sebelum terlahirnya dunia maya. Kita hanya bisa mencintai pedalaman Papua hanya secara fiktif. Berimajinasi secara nakal mengenai bagaimana Papua sebenarnya. Akan tetapi kelahiran dunia maya membuat masyarakat secara bebas berkomunikasi langsung dengan masyarakat Papua. Bahkan kita bisa mengetahui bagaimana keadaan Papua secara kekinian. Tentu saja tanpa harus menghadirkan fisik kita di sana.

Mungkin saya terlalu jauh mengantar cerita yang akan saya tulis ini. Padahal di awal, saya sudah berjanji kepada seorang teman untuk menyumbangkan tulisan tentang Babebo Zine. Ah, apa yang harus saya ceritakan terkait Zine yang baru terbit dua edisi ini. Babebo Zine juga mencoba berinteraksi dengan publik lewat ruang maya. Sampai pernah suatu kali Anitha Silvia, seorang backpacker dan pegiat Zine yang kerap dipanggil Tinta, tertipu.

Pada saat itu dia mengadakan ekspedisi ke Jember untuk bertemu para pegiat Zine. Dia bertemu dengan kami dan bertukar cerita tentang banyak hal. Kemudian dia tersenyum malu, ketika mengetahui Grup Facebook Babebo Zine telah dibuat sebelum ada satupun edisi Babebo Zine yang terbit. Sesaat tawa kami berhenti, Tinta mengeluarkan beberapa Zine dan komik dari dalam tasnya. Ini untuk teman-teman Babebo Zine, katanya.

Eh, tiba-tiba saya teringat komentar di salah satu forum Facebook. Saat itu Majalah Bobo sedang berulang tahun. Seorang teman mengatakan jika secara tiba-tiba dia tertampar dan dipaksa untuk mengingat Babebo Zine. Menurutnya Babebo Zine ini berisi karya liar yang cenderung hobi bermain pada taman imajinasi. Seperti bocah kecil. Imajinasi khas anak-anak. Mirip Majalah Bobo dengan segmentasi pasar yang difokuskan pada anak-anak. Namun, Babebo Zine tidak hanya berhenti pada permainan imajinasi khas anak-anak. Mereka memoles imajinasi itu dengan daya satir. Mereka mendobrak norma dalam lapisan sosial dan memaksa masuk dalam ruang publik. Tak peduli siapa dan dari kalangan mana yang akan menikmati karyanya.

Para pekerja Babebo Zine memang Mahasiswa. Walaupun beberapa dari mereka jarang masuk dalam kelas. Tapi setidaknya label mereka sebagai mahasiswa, akan selesai ditahapan bahwa mereka masih membayar SPP. Akan tetapi beberapa lainnya yang masih gemar dipaksa untuk ikut perkuliahan. Tetap saja tidak bisa membohongi imajinasi mereka sendiri. Ketika duduk dan dipaksa menghirup bau mulut para dosen yang banjir busa. Mereka lebih rela meluangkan waktunya untuk berimajinasi daripada menyimak bualan dosen yang teks book banget itu.

Seperti misalnya Diyah Kalpika, dia lebih sering menikam waktu monoton di dalam kelas dengan menggambar. Gambar yang khas dan sering disebut sebagai karya sketsa. Belakangan ini dia lebih aneh dari sebelumnya. Semenjak mengikuti perkumpulan para sketser di Sidoarjo. Dia sering berbincang di warung kopi bersama kami namun tetap menggambar. Dia menggambar dengan endapan kopi kami.

Sedangkan Sadam Husaen Mohammad mencoba menerjemahkan imajinasi dalam bahasa visual dan teks. Ketika keluar dari kelas seringkali dia berhasil menyelesaikan beberapa puisi dan seni visual. Bahkan seringkali dia merapalkan teks puisi ketika kami saling bertukar canda di warung kopi. Beberapa teman sering mengatakan jika hampir keseluruan karya Sadam merupakan manifestasi nafsu. Lebih tepatnya seni cabul. Mungkin ini berangkat dari ketidakpuasan dirinya pada sekat norma yang tersusun dalam lapisan sosial masyarakat. Kemudian dia ingin meremas sekat itu sampai kusut tanpa menghilangkan norma itu sendiri.

Sedangkan Afwan Fathul Barry lebih gemar mengirimkan karyanya ke beberapa media Lokal maupun Nasional. Dia sering keluar masuk dalam grup Facebook yang berisi para karikaturis. Memang Afwan lebih sering menggambar dengan ciri khasnya yang dominan pada jenis seni karikatur. Seni visualnya selalu eye catching, penuh warna, namu bernada satir. Irama kritik terselip dalam karyanya yang terkesan lugu. Kritik itu disampaikan dengan sangat halus. Bahkan saya yakin Pemerintah Kota Jember sendiri tak akan tau kalau dia dikritik ketika dia menikmati karya Afwan. Mungkin ini semua karena proses menikmati seni itu tergantung dari seberapa besar wacana yang dimiliki oleh penikmatnya. Jadi kalau tidak mengerti tentang apa itu seni karikatur. Otomatis tak akan paham apakah kritik sosial yang sengaja diselipkan dalam karya itu. Padahal seni karikatur sendiri adalah hasil dari pembacaan atas realitas. Kemudian si karikaturis mencoba mengawinkan realitas dengan imajinasi. Maka lahirlah seni karikatur yang satir.

Ada pula beberapa dari mereka yang selalu kesulitan untuk berkompromi dengan tangannya sendiri. Tetapi selalu gagal mengajukan gugatan cerai dengan imajinasinya sendiri. Mereka sangat mampu untuk mengonsep berbagai jenis karya seni. Misalnya si Umi Agustin dan Ulil Petrik. Mereka berdua mempunyai imajinasi yang digodok dengan kritik sosial. Mungkin karena kerekatan hubungan mereka dengan buku dan diskusi. Maka seringkali beberapa dari kami harus rela membolak balik rumusan wacana dalam buku, untuk sekedar menikmati, apa sih yang ingin mereka komunikasikan dalam karya seni mereka sendiri.

Kalau saya sendiri lebih gemar menulis esai, cerpen, puisi, dan menggambar abstrak. Di saat mitologi Yunani Kuno bercumbu dengan era modern. Di era kekinian benturan itu terjadi atau mungkin sudah pernah terjadi namun hanya diulang lagi. Bagi saya saat itulah terjadi pencabulan antara paman dan keponakannya sendiri. Maka imajinasi barangkali harus dibekukan dalam simbol-simbol. Saya tidak ‘menciptakan’ karya. Saya hanya mencoba menyampaikan apa yang saya pikirkan. Kemudian yang berinteraksi dengan para pembaca atau anda, bukanlah saya. Akan tetapi imajinasi saya yang berhasil keluar dari penjara untuk kemudian berkomunikasi dengan anda secara mandiri. Dan saya telah mati.

Mereka (karya) akan segera menjadi subjek yang mendampingi kehidupan anda. Mereka bergentayangan. Bergentayangan dalam imajinasi anda dalam realitas. Sory saya sengaja khilaf, sebenarnya terlalu sadis menghakimi diri saya sendiri dalam tulisan ini. Atau mungkin bukan hanya menghakimi saya sendiri. Bisa jadi semua karya para Pekerdja di Babebo Zine juga seperti itu. Sudahlah lupakan saja. Toh, anda sekarang tidak sedang membaca tulisan saya. Atau kalaupun anda ingin mengatakan kalau ini tulisan saya. Okelah ini tulisan saya. Akan tetapi saya yang lain.[]

Hobi Gambar; Sebuah Komik Hitam Putih





Artwork oleh: Sadam Husaen Mohammad

Aku Melihat Tuhan Bercinta Dalam Kamar Mandi


Kamar itu masih pengap, berantakan dan masih diterangi oleh lampu yang tidak bisa disebut terang. Kamar tanpa jendela itu adalah kamar ku, kamar yang selalu menjadi tempat membuang semua kekesalanku kepada anggota keluargaku yang selalu menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Tapi ada yang berbeda saat ini di kamarku, dua minggu mempersiapkan semua ini. Sebuah kamar mandi lengkap dengan bak air yang mengkilat, sebuah kamar mandi duduk, lantai keramik coklat, dan sebuah shower.

Tapi sayangnya tak ada yang memakai kamar mandi itu, padahal kebersihannya selalu ku jaga dan pintunya pun selalu terbuka. Keluargaku pun enggan untuk sekedar melihat kamar mandi buatanku ini. Memang aku bukan seorang pekerja bangunan atau insinyur.

Aku adalah seorang pengkhayal yang mendiami kamar yang pengap dan kotor. Menghayalkan sesuatu yang dianggap tidak penting oleh kebanyakan orang dan tak ku pungkiri aku sering menghayalkan hal yang jorok. Yah dari khayalanku aku mendapatkan uang, kanvas-kanvas hasil dari khayalanku kujual untuk keperluanku karena aku tak mau berebut uang dengan keluargaku yang lain.

Kamar mandi yang ku buat ini juga berasal dari kahyalanku, setelah aku mendengar kabar tsunami di Jepang. Aku mengkhayalkan bintang-bintang porno Jepang selamat dari terjangan tsunami dengan tubuh yang kotor, tapi mereka tidak menemukan tempat untuk membersihkan tubuh mereka, karena hampir semua air menjadi kotor terkena lumpur. Akhirnya aku tersentak berdiri dan muncul sebuah ide untuk membuat sebuah kamar mandi agar mereka bisa membersihkan tubuh mereka yang kotor.

Tapi aku benar-benar kecewa, karena setelah selesai tak ada yang mau memakai kamar mandi buatanku. Sudah satu minggu kamar mandi itu kubiarkan dengan kutambahkan beberapa perlengkapan lagi, yaitu beberapa sabun mandi beserta sikat giginya.Sudah lima hari berlalu setelah kutambahkan sabun dan perangkat yang lain, tapi tetap saja tak ada yang mau memakai kamar mandi buatanku itu. Sepertinya kamar mandi yang aku buat ini sudah lebih dari cukup dibandingkan dengan kamar mandi umum  atau yang kita sebut ponten yang ada di tempat-tempat umum.

Aku hanya berharap ada yang mau memakai kamar mandi buatanku. Padahal aku mebuat kamar mandi ini dengan niat baik ;  agar orang-orang yang badanya kotor bisa membersihkan dirinya, walaupun sempat terbersit ide jorok untuk bercinta dengan bintang porno jepang dalam  kamar mandi itu, menghunuskan si peni ke duburnya, ah tidak, dubur itu hanya untuk si mahatinja. Akan ku hunuskan saja ke vaginanya. Tapi bagaimana aku akan bercinta di dalam kamar mandi itu, sekarang saja tak ada satu pun orang yang mau melihat kamar mandi itu. Oh tuhan, apa yang kurang dari kamar mandi buatanku ini? Apa perlu kutambahkan penjaga yang siap diajak bercinta kapan saja?

Tuhan, ah ya tuhan. Jika yang pertama melihat kamar mandi buatanku ini adalah tuhan, pasti semua orang berbondong-bondong ikut  melihatnya. Dan aku bisa melihat kelamin tuhan, apakah dia mempunyai penis yang mencuat atau vagina yang masih rapat, atau jangan-jangan tuhan seorang banci. Tapi jika tuhan seorang perempuan, akan kuajak dia bercumbu dalam kamar mandi itu.

Oh tuhan, maukah kau menjadi yang pertama melihat kamar mandi yang aku buat ini?

Apa yang perlu ku persiapkan agar kau mau muncul di kamar mandi buatanku ini?

Karena aku ingin tahu kelaminmu tuhan!

Khayalanku semakin liar karena bayangan bercinta dengan bintang porno jepang sudah hilang, karena pasti lebih hebat jika aku bias bercinta dengan tuhan. Sudah 20 menit aku menunggu tuhan muncul di kamar mandiku, tapi tetap saja tak ada pertanda kedatangan apapun.

Tuhan penisku masih kendur

Apakah tuhan melihatku sekarang? Karena aku sedang telanjang menunggu kedatangannya.

Tuhan, apakah kau perempuan?

30 menit berlalu dan aku berhasil melihat tuhan dalam kamar mandi itu dengan kekecewaan, karena tuhan yang kugambar dalam lukisan kamar mandi itu adalah seorang lelaki dan dia sedang bercinta dengan bintang porno jepang idolaku.

Tapi akhirnya aku tersenyum gembira karena aku berhasil menambahkan pengguna kamar mandi itu dalam lukisanku.